• This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

  • ekahope

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

  • [SAYA INDONESIA]

    Menggalakkan gotong royong, rasa kepedulian serta menanamkan semangat Pancasila dalam kehidupan sehari - hari

  • Partai BERKARYA

    Saatnya BERKARYA, bukan bergaya

  • PARTAI BERKARYA (Nomor 7)

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 17 Juli 2019

Zonasi Pendidikan


Beberapa waktu lalu, masih hangat dalam benak kita, terkait aturan Zonasi dalam perekrutan siswa baru. Pada dasarnya, sistem zonasi itu bagus. Namun, sebelum saya membahas itu, Saya ingin sedikit memberikan gambaran.
Setiap kebijakan, tentulah ditanggapi beragam pro dan kontra di tengah - tengah masyarakat. Salah satunya kebijakan sistem zonasi ini. Bagi sebagian masyarkat yang pro, mungkin lebih karena mengedepankan dari sisi teori keilmuannya dalam menyikapi sistem zonasi ini. Ya, memang sistem zonasi ini sangat bagus diterapkan jika ditunjang dengan sarana dan prasarana yang merata kualitasnya. Namun, jika tidak ditunjang dengan sarana dan prasarana yang merata kualitasnya, maka hanya akan menimbulkan polemik yang ujung - ujungnya masyarakat hanyalah sebagai korban kebijakan seperti yang dialami sebagian besar orang tua yang tahun ini putra putrinya menjadi siswa baru.
Perjuangan orang tua yang menginginkan putra putrinya mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas menjadi pupus hanya karena jarak antara tempat dan sekolah.
Niat Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mungkin baik karena ingin menerapkan seperti di Negara - Negara maju. Salahsatu contoh di Jepang. Di Jepang, bahkan jauh sebelumnya sudah ditentukan peserta didiknya melanjutkan pendidikannya di sekolah mana. Perlu diingat, sekolah - sekolah disana ibarat mini market modern di Indonesia yang dari bangunannya, karyawannya, kenyamanannya, bahkan produk - peoduk yang ditawarkan semuanya sama. Sehingga masyarkat pun pastinya akan berbelanja di mini market terdekat di wilayah tempat tinggalnya.
Standarisasi sarana serta prasarana inilah  mungkin yang harus disiapkan terlebidahulu oleh Pemerintah dalam menerapkan kebijakan zonasi ini. Bayangkan saja jika semua sekolah kondisinya semuanya sama. Tentunya zonasi akan jadi solusi brilian tanpa harus terkesan pemaksaan, dan para orang tua pun tidak harus berjibaku, bersusah payah untuk mendaftarkan putra putrinya sebagai peserta didik baru melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya sebagai siswa baru

Share:

Rabu, 10 Juli 2019

Demokrasi Pancasila atau Demokrasi Liberal?


Pancasila adalah ideologi dasar kehidupan di Negara Indonesia, namun ironisnya pondasi dalam struktur ketatanegaraan ini, seakan - akan tergoyah oleh masuknya ideologi - ideologi lain.
Semisal, dalam pelaksanaan demokrasi pasca orde baru. Nilai - nilai Pancasila seakan sudah tidak lagi menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Tenggang rasa, Tepo-seliro, gotong royong serta musyawarah sudah tidak lagi mewarnai sosial kehidupan kita. Hal ini tentunya menjadi celah pada upaya memecah belah persatuan dan kesatuan yang merupakan benteng guna menjaga utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Demokrasi di era orde baru, menurut saya, lebih kepada pembelajaran dalam proses membangun sebuah demokrasi Pancasila seperti yang diamanahkan Pancasila sebagai ideologi dasar. Terang saja, banyak pihak yang mencemooh hal ini, dengan mengait - ngaitkan otoritas kepemimpinan Presiden Soeharto. Bisa jadi, cemoohan itu hanya dijadikan argumen politik hanya sebagai cara agar Negara Indonesia lemah dan berketergantungan dengan negara lain. Lebih ekstrimnya lagi, keinginan Negara Indonesia bubar.
Bagi saya, tanpa disadari, bahwa demokrasi yang dijalankan saat ini lebih pada demokrasi liberal. Kenapa demikian? Sebab, sebagai Negara Pancasila seharusnya demokrasi Pancasila lah yang dijalankan. Dimana musyawarah yang lebih didahulukan seperti yang tercantum pada Pancasila sila keempat yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".
Sebaiknya, kita sebagai Negara yang memiliki ideologi dasar dengan nilai - nilai Pancasila tidak selalu berkiblat ke negara - negara lain, apalagi negara liberal. Bangsa ini memiliki tatanan kehidupan sendiri sebagai Bangsa Indonesia. Sehingga bangsa ini lebih menjadi diri sendiri dan maju menjadi negara maju yang bermartabat nantinya.
Mari kita renungkan dari kejadian demi kejadian yang telah menjadi sejarah politik baik era orde lama, era orde baru hingga saat ini yang katanya era reformasi.
Apakah Pancasila masih menjadi pedoman dasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat saat ini?
Apakah Bangsa Indonesia ini masih ada?

#ekahope
#politikkonyol



Share:

Selasa, 09 Juli 2019

Politik "KONYOL?"


Pada tahun 2019, Indonesia melaksanakan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif untuk kali pertama secara bersamaan, dan inipun tercatat dalam sejarah. Namun hawa panas mulai terasa sejak awal tahun 2018, ini merupakan kondisi yang kurang baik dalam proses menjelang pesta demokrasi terbesar dalam sejarah demokrasi Indonesia, bahkan mungkin dunia. Dimana sebelumnya, edukasi tentang politik terasa sangat kurang didapatkan masyarakat, dikarenakan perseteruan antar elit politik disuguhkan terus menerus sejak tahun 2014. Bahkan istilah HOAKS sudah jadi santapan sehari - hari, karena seringkali mewarnai pemberitaan berbagai media, baik isu - isu tentang munculnya kembali komunis, isu - isu tentang intervensi Tiongkok terkait ekonomi dengan banyaknya hutang, serta masuknya jutaan tenaga kerja asing unskill, bahkan sampai isu - isu tentang Agama.
Namun ditengah hiruk pikuk tersebut, mendorong banyak kalangan di masyarakat menjadi peduli politik, ditandai dengan munculnya relawan - relawan.
Tentunya ini hal positif  dalam proses demokrasi terkait pendidikan politik, karena memunculkan minat masyarakat yang mulai tertarik terhadap politik. Akan tetapi, hal ini kurang dirasakan dalam Pemilihan Legislatif, yang juga dilaksanakan dalam waktu bersamaan, disebabkan masyarakat lebih terkonsentrasi terhadap Pilpres. Perihal kurangnya ketertarikan itu tadi, seperti sebelum - sebelumnya kampanye ala Calon Legislatif (Caleg) dengan kemampuan finansialnya terjadi dimana - mana, tanpa disadari itu merupakan upaya pembodohan kepada masyarakat, yang dilakukan para politisi dalam hal ini terutama para caleg, dibantu politisi - politisi lain bukan caleg yang tergabung dalam tim pemenangannya.
Pertimbangan finansial dalam Pileg bagi saya, disebabkan difungsinya partai politik selama ini yang lebih menerapkan politik praktis. Praktis saja, masyarakat jenuh bahkan apatis terhadap politik. Pemilih sudah tidak lagi berfikir panjang, bahkan tidak peduli dengan pemikiran serta konsep - konsep, akan tetapi apa yang diperoleh saat itu juga, dan hal ini dimanfaatkan para politisi sehingga ibarat pasar, dimana pertemuan penjual dan pembeli.
Situasi ini, tentunya menjadikan harapan rakyat dalam memilih wakil rakyat yang merakyat hanyalah tinggal harapan, karena di satu sisi caleg mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan haknya terkait suara, di sisi lain pemilih dalam hal ini rakyat pun telah mendapatkan haknya berupa uang ataupun lainnya terkait suara yang diberikan untuk menjadikan caleg sebagai wakil rakyat terpilih untuk 5 tahun ke depan.
Semoga saja, apa yang terjadi selama ini di setiap pemilu apa saja dan dimana saja di Indonesia, kita semua punya peran penting dalam proses politik, karena semua kebijakan yang ada di negara kita merupakan kebijakan politik.
Jika kita cerdas dalam memilih, tentunya pilihan kita juga politisi cerdas, sebaliknya jika kita konyol, hanya dengan mempertimbangkan seberapa besar  yang didapat, tentunya pilihan kita juga politisi konyol yang hanya mengandalkan uang atau mungkin popularitas saja, maka yang terjadi kelak adalah kebijakan - kebijakan konyol.

#ekahope
#politikkonyol
Share:

Informasi