• This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

  • ekahope

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

  • [SAYA INDONESIA]

    Menggalakkan gotong royong, rasa kepedulian serta menanamkan semangat Pancasila dalam kehidupan sehari - hari

  • Partai BERKARYA

    Saatnya BERKARYA, bukan bergaya

  • PARTAI BERKARYA (Nomor 7)

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 25 Desember 2019

Kembalikan Dunia Anak Indonesia

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-1698077076686711"
     crossorigin="anonymous"></script>


Bagi kita yang pernah mengalami hidup disaat era orde baru, sebagaian orang merasa adanya perubahan terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin ada yang merasakan apa yang saya rasakan, dan ada pun yang berbeda. Hal itu adalah sebuah kewajaran dan bisa saya pahami karena itulah manusia. Pasti berbeda – beda dalam menyimpulkan atau menyikapi kondisi dan yang dilami atau dirasakan.
Bagi saya, terlepas dari pro kontra terkait cerita era orde baru, namun dari prespektif pandangan saya yang hidup di tahun 80-an terkait dunia anak semasa kecil saya. Pengalaman masa kecil saya saat itu adalah masa kecil yang indah dengan cerita semasa kanak – kanak yang benar – benar dunia anak – anak Indonesia. Di saat yang sama, saya yang kala itu menghabiskan masa kecil saya di Kabupaten Fakfak Provinsi Irian Jaya merupakan salahsatu kota kecil pulau cendrawasih. Dimana permainan tradisional kala itu sangat berketergantungan dengan alam berupa tanah, pasir dan batu dikombinasikan dengan alat main seperti kelereng, karet gelang bahkan hingga memanfaatkan cangkang siput atau kerang agar menjadi sebuah permainan yang menyenangkan.
Belum lagi permainan dengan memanfaatkan tanaman yang dijadikan senjata untuk bermain perang – perangan, kulit jeruk bali yang dijadikan mobil – mobilan, dan masih banyak lagi permainan – permainan hasil dari kreasi berbahan dasar hasil dari alam yang ada untuk dimanfaatkan menjadi sebuah mainan.
Musim liburan tiba, dan itu serentak setahun sekali di seluruh Indonesia. Hampir setiap tahunnya saya berlibur ke pulau jawa dengan keadaan yang tentunya jauh berbeda dengan daerah asal saya saat itu di Irian Jaya tentunya. Surabaya sebagai kota di pulau jawa yang juga kota terbesar dan metropolitan setelah Ibukota Jakarta pastinya merupakan kota yang modern baik dari fasilitas Pendidikan maupun fasilitas di kota itu sendiri karena kemajuan yang pesat dari hasil pembangunan Indonesia yang sebagai Negara berkembang. Meskipuan perbedaan itu sangat mencolok dari segi pembanguanan infrastruktur maupun penduidikan, akan tetapi dunia anak – anaknya ternyata nyaris sama. Jadi permainan apa yang saya dan teman – teman mainkan di daerah asal, ternyata juga menjadi permainan anak – anak di Kota Surabaya. Sehingga disitu saya bisa cepat untuk beradaptasi dan tidak merasa ketinggalan terkait dunia anak.
Namun ada juga yang tidak saya temukan di daerah asal saya, dimana angka kriminalitas yang nyaris tidak ada, berbeda dengan di Surabaya, yang angka kriminalitasnya lumayan tinggi. Akan tetapi saya pun mendengar obrolan – obrolan orang – orang dewasa saat itu bahwa Negara tidak tinggal diam melihat kondisi terganggunya keamanan, ada istilah petrus yang sering disebut – sebut dan masyarkat pun menyambut baik karena dampak positif yang langsung terasa bahwa kondisi tidak aman itu tak berlangsung lama. Angka kriminalitasnya pun benar – benar ditekan sehingga secara signifikan mengakibatkan menurunnya angka kriminalitas tersebut.
Jadi, bila dibandingkan dengan kondisi saat ini dengan maraknya penculikan anak yang menjadikan anak merasa tak lagi merasa aman, serta pengaruh bebasnya informasi yang sudah tidak terkendali lagi, berdampak negative bagi dunia anak – anak yang berakibat fatal dengan hilangnya karakter anak Indonesia, ini merupakan ancaman sangat serius sebenarnya karena dunia anak adalah cikal bakal dalam mencetak generasi penerus untuk masa depan sebagai generasi yang berkarakter, unggul demi Indonesia yang maju dan bermartabat.
Itu mungkin, singkat cerita  semasa kecil saya dulu di era orde baru tepatnya ditahun 80-an dimana anak – anak kala itu yang benar – benar diberikan oleh Negara ruang yang bebas dan luas untuk bermain, berkreasi namun tidak mengganggu aktifitas Pendidikan, sehingga kualitas Pendidikan dasar serta pembentukan karakter sebagai anak Indonesia tetap terjaga dan berjalan dengan baik sebagaimana mestinya.
Semoga Pemerintah, dalam hal ini para pemimpin di Negeri ini dapat mengembalikan dunia anak Indonesia yang sesungguhnya agar indahnya dunia anak yang pernah saya alami juga dapat dialami oleh anak cucu.

#ekahope
#sayaindonesia

Share:

Sabtu, 14 Desember 2019

Saya mengajak kita semua


Saya mengajak kita semua berpikir, dan renungkan agar kita tidak sebagai Rakyat yang.... :
-Yang hanya menjadi komoditas politik untuk kepentingan kelompok/golongan tertentu.
-Yang hanya ikut - ikutan tanpa pertimbangan.
-Yang hanya ingin terlihat eksis tanpa isi.
-Yang hanya aji mumpung tanpa konsep yang cerdas dan terukur.
-Yang bisa dibeli.

Saya ambil contoh sampel ini berdasarkan sejarah yang saya alami dulu hingga saat ini.

Di era Orde Baru :
-Saat itu saya sering  mendengar dan mempelajari tentang GBHN,
-Saat itu MPR adalah sebagai Lembaga tertinggi Negara.
-Saat itu Presiden dipilih oleh MPR.
-Saat itu sudah ada BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) hingga tingkat Kabupaten.
-Saat itu minimnya ruang kritik.

Di era Reformasi (Pasca Orde Baru) beberapa kali Amandemen UUD 1945 telah dilakukan, dan saat ini wacana amandeman UUD 1945 mulai mencuat, terutama soal dikembalikannya GBHN dan Presiden dipilih MPR sebagai Lembaga tertinggi Negara :
-Zulfan Lindan (Ketua DPP Partai Nasdem) mengatakan ide Kembali ke GBHN dan MPR menjadi Lembaga tertinggi Negara muncul dari PDIP berdasarkan studi selama ini, seperti yang disampaikan Sekjend PDIP Hasto Kristiyanto, MM.
-KH.Marsudi Syuhud (Ketua PBNU) mengatakan, NU mendukung pemilihan Presiden dikembalikan ke MPR dengan pertimbangan kondisi sosial politik dan juga dari segi keuangan.
-Presiden Ir.Joko Widodo membentuk BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) sebagai upaya pembinaan Pancasila, dan baru ada di tingkat Pusat.
-Akhir - akhir ini dengan dasar pasal RKUHP pasal 263 dan 264, menjadikan banyaknya batasan - batasan sehingga mengakibatkan menyempitnya ruang kritik terhadap Pemerintah terutama Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan dengan sistem Presidensial saat ini.

Dari beberapa sampel di atas dengan perbandingannya, saya sebagai orang awam berpikir bahwa jika memang nantinya seperti itu kondisinya, lantas.....
-Apakah sebegitunya salah dan dosa orde baru sehingga doktrin terhadap generasi penerus bahwa saat itu kelam?
-Reformasi sebenarnya untuk apa dan siapa?
-Apa isu - isu negatif orde baru hanya digunakan sebagai senjata untuk kepentingan mereka yang hanya untuk merebut kekuasaan semata?

20 tahun lebih sudah pasca orde baru yang seakan - akan sebagai ajang uji coba dalam mengelola Negara ini dan 265 juta jiwa lebih rakyat dianggap sebagai kelinci percobaan. Semoga kita semua lebih peduli dan terus belajar, terutama dari kesalahan agar tidak mengulangi kesalahan, tentunya dengan dasar pemikiran akal sehat.

#ekahope
#sayaindonesia
#politikkonyol
#reformasigagal
Share:

Senin, 23 September 2019

Enak Zaman Pak Harto

(23/09/2019) Siang ini saya berada di rumah Umi saya di Sokasari - Desa Wage - Kecamatan Bumi Jawa - Kabupaten Tegal.
Kebetulan rumah Embah Turiyah (Adik Umi saya) tidak jauh, hanya berjarak 10 meter dari rumah Umi saya. Saya diajak makan siang di rumah beliau dengan menu yang sangat - sangat uenak. Beliau diusia hampir 70 tahun di rumah hanya seorang diri, setelah 2 tahun lalu suami beliau meninggal dunia. Sebenarnya beliau memiliki 8 orang anak namun  dua anaknya meninggal dunia, yang satu anaknya tinggal disebelah rumah dan yang lain merantau. Alhamdulillah semua anaknya sdh berkeluarga.
Usai menyantap makan siang, saya dan embah Turiyah ngobrol - ngobrol seru bagaikan seorang wartawan dan narasumbernya. Tapi narasumbernya ini bukan politisi dan bukan pengusaha apalagi penguasa.
Awalnya beliau cerita tentang nasi yang kita makan, katanya nasi yang kita makan adalah beras IR, dengan masa tanam yang relatif lebih cepat dibanding beras - beras lain. Rasa penasaran saya mulai muncul, mulailah saya bak seorang wartawan bertanya kepada beliau. Ya... lebih kurang lebih, beginilah obrolannya :

Saya : Embah bertani sehari - hari?
Embah Turiyah : Iya kalau lagi nanam.
Saya : Kalau tidak lagi nanam?
Embah Turiyah : Saya ngulang (ngajar) ngaji di TPQ, sudah 30 tahunan lebih saya ngulang.
Saya : Embah, maaf jadi guru ngaji itu digaji?
Embah Turiyah : Iya setahun Rp250.000,-.
Saya : Ooo... (Dalam hati kaget), Embah punya sawah? modal awalnya berapa embah? terus hasilnya dijual?
Embah Turiyah : Iya punya, sekitar setengah hektar, masa tanamnya 100 hari dengan hasil panen kurang lebih satu ton. Dengan modal hampir lima juta, Akhir - akhir ini saya sudah tidak jual lagi, karena nggak untung dan bisa rugi, jadi berasnya dibuat makan sendiri dan bagi - bagi ke anak dan keluarga aja. Harga beras yang masih ada kulitnya dari petani Rp4.000,-/kg, ongkos giling untuk jadi beras Rp500,-/kg, harga beras petani yang kualitas paling bagus kisaran Rp8.000,- hingga Rp9.000,-. Tapi sangat jarang petani yang bisa menjual beras karena modal awalnya dari hutang dan perjanjiannya dengan yang menghutangi hasil panen berupa beras yang masih berkulit itulah yang dibeli.

Sudah bisa ada gambaran kan, berapa keuntungan petani yang harus diperoleh selama 100 hari bekerja? secara garis besar saya lanjutkan ceritakan obrolannya ya.

Saya : Kalo dulu bagaimana embah?
Embah Turiyah : Kalau dulu jaman Pak Harto itu aman, padahal penerangan tidak ada. sekarang jalan ada, penerangan ada malah rawan. Dulu apa - apa murah tapi sekolah bayar, tapi bayarnya pun murah. Kalau sekarang sekolah gratis tapi apa - apa mahal. Dulu petani masih bisa nabung, sekarang balik modal saja susah.
Saya : Embah kalo listrik masuk sini kapan?
Embah Turiyah : Sekitar diatas tahun 2000an, dulu pakainya lampu minyak tanah.
Saya : Dulu beli minyak tanah susah?
Embah Turiyah : Dulu minyak tanah banyak, murah jadi nggak khawatir.
Saya : Sekarang jalannya sudah bagus ya embah di desa?
Embah Turiyah : Iya, kan setiap Lurah baru pasti diperbaiki, kan itu bikinnya borongan jadi kualitasnya cepet rusak. Jadinya setiap ganti lurah ya dibangun (mungkin maksudnya diperbaiki) lagi jalannya.

Ya itulah fakta dari data yang saya peroleh dari yang namanya rakyat biasa yang polos yang berhati bersih, bukan yang sudah berjiwa saling memberangus untuk mengejar dunia demi kepentingannya dengan mengabaikan nilai - nilai kebaikan.


#ekahope
#sayaindonesia
#politikkonyol
Share:

Rabu, 17 Juli 2019

Zonasi Pendidikan


Beberapa waktu lalu, masih hangat dalam benak kita, terkait aturan Zonasi dalam perekrutan siswa baru. Pada dasarnya, sistem zonasi itu bagus. Namun, sebelum saya membahas itu, Saya ingin sedikit memberikan gambaran.
Setiap kebijakan, tentulah ditanggapi beragam pro dan kontra di tengah - tengah masyarakat. Salah satunya kebijakan sistem zonasi ini. Bagi sebagian masyarkat yang pro, mungkin lebih karena mengedepankan dari sisi teori keilmuannya dalam menyikapi sistem zonasi ini. Ya, memang sistem zonasi ini sangat bagus diterapkan jika ditunjang dengan sarana dan prasarana yang merata kualitasnya. Namun, jika tidak ditunjang dengan sarana dan prasarana yang merata kualitasnya, maka hanya akan menimbulkan polemik yang ujung - ujungnya masyarakat hanyalah sebagai korban kebijakan seperti yang dialami sebagian besar orang tua yang tahun ini putra putrinya menjadi siswa baru.
Perjuangan orang tua yang menginginkan putra putrinya mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas menjadi pupus hanya karena jarak antara tempat dan sekolah.
Niat Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mungkin baik karena ingin menerapkan seperti di Negara - Negara maju. Salahsatu contoh di Jepang. Di Jepang, bahkan jauh sebelumnya sudah ditentukan peserta didiknya melanjutkan pendidikannya di sekolah mana. Perlu diingat, sekolah - sekolah disana ibarat mini market modern di Indonesia yang dari bangunannya, karyawannya, kenyamanannya, bahkan produk - peoduk yang ditawarkan semuanya sama. Sehingga masyarkat pun pastinya akan berbelanja di mini market terdekat di wilayah tempat tinggalnya.
Standarisasi sarana serta prasarana inilah  mungkin yang harus disiapkan terlebidahulu oleh Pemerintah dalam menerapkan kebijakan zonasi ini. Bayangkan saja jika semua sekolah kondisinya semuanya sama. Tentunya zonasi akan jadi solusi brilian tanpa harus terkesan pemaksaan, dan para orang tua pun tidak harus berjibaku, bersusah payah untuk mendaftarkan putra putrinya sebagai peserta didik baru melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya sebagai siswa baru

Share:

Rabu, 10 Juli 2019

Demokrasi Pancasila atau Demokrasi Liberal?


Pancasila adalah ideologi dasar kehidupan di Negara Indonesia, namun ironisnya pondasi dalam struktur ketatanegaraan ini, seakan - akan tergoyah oleh masuknya ideologi - ideologi lain.
Semisal, dalam pelaksanaan demokrasi pasca orde baru. Nilai - nilai Pancasila seakan sudah tidak lagi menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Tenggang rasa, Tepo-seliro, gotong royong serta musyawarah sudah tidak lagi mewarnai sosial kehidupan kita. Hal ini tentunya menjadi celah pada upaya memecah belah persatuan dan kesatuan yang merupakan benteng guna menjaga utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Demokrasi di era orde baru, menurut saya, lebih kepada pembelajaran dalam proses membangun sebuah demokrasi Pancasila seperti yang diamanahkan Pancasila sebagai ideologi dasar. Terang saja, banyak pihak yang mencemooh hal ini, dengan mengait - ngaitkan otoritas kepemimpinan Presiden Soeharto. Bisa jadi, cemoohan itu hanya dijadikan argumen politik hanya sebagai cara agar Negara Indonesia lemah dan berketergantungan dengan negara lain. Lebih ekstrimnya lagi, keinginan Negara Indonesia bubar.
Bagi saya, tanpa disadari, bahwa demokrasi yang dijalankan saat ini lebih pada demokrasi liberal. Kenapa demikian? Sebab, sebagai Negara Pancasila seharusnya demokrasi Pancasila lah yang dijalankan. Dimana musyawarah yang lebih didahulukan seperti yang tercantum pada Pancasila sila keempat yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".
Sebaiknya, kita sebagai Negara yang memiliki ideologi dasar dengan nilai - nilai Pancasila tidak selalu berkiblat ke negara - negara lain, apalagi negara liberal. Bangsa ini memiliki tatanan kehidupan sendiri sebagai Bangsa Indonesia. Sehingga bangsa ini lebih menjadi diri sendiri dan maju menjadi negara maju yang bermartabat nantinya.
Mari kita renungkan dari kejadian demi kejadian yang telah menjadi sejarah politik baik era orde lama, era orde baru hingga saat ini yang katanya era reformasi.
Apakah Pancasila masih menjadi pedoman dasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat saat ini?
Apakah Bangsa Indonesia ini masih ada?

#ekahope
#politikkonyol



Share:

Selasa, 09 Juli 2019

Politik "KONYOL?"


Pada tahun 2019, Indonesia melaksanakan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif untuk kali pertama secara bersamaan, dan inipun tercatat dalam sejarah. Namun hawa panas mulai terasa sejak awal tahun 2018, ini merupakan kondisi yang kurang baik dalam proses menjelang pesta demokrasi terbesar dalam sejarah demokrasi Indonesia, bahkan mungkin dunia. Dimana sebelumnya, edukasi tentang politik terasa sangat kurang didapatkan masyarakat, dikarenakan perseteruan antar elit politik disuguhkan terus menerus sejak tahun 2014. Bahkan istilah HOAKS sudah jadi santapan sehari - hari, karena seringkali mewarnai pemberitaan berbagai media, baik isu - isu tentang munculnya kembali komunis, isu - isu tentang intervensi Tiongkok terkait ekonomi dengan banyaknya hutang, serta masuknya jutaan tenaga kerja asing unskill, bahkan sampai isu - isu tentang Agama.
Namun ditengah hiruk pikuk tersebut, mendorong banyak kalangan di masyarakat menjadi peduli politik, ditandai dengan munculnya relawan - relawan.
Tentunya ini hal positif  dalam proses demokrasi terkait pendidikan politik, karena memunculkan minat masyarakat yang mulai tertarik terhadap politik. Akan tetapi, hal ini kurang dirasakan dalam Pemilihan Legislatif, yang juga dilaksanakan dalam waktu bersamaan, disebabkan masyarakat lebih terkonsentrasi terhadap Pilpres. Perihal kurangnya ketertarikan itu tadi, seperti sebelum - sebelumnya kampanye ala Calon Legislatif (Caleg) dengan kemampuan finansialnya terjadi dimana - mana, tanpa disadari itu merupakan upaya pembodohan kepada masyarakat, yang dilakukan para politisi dalam hal ini terutama para caleg, dibantu politisi - politisi lain bukan caleg yang tergabung dalam tim pemenangannya.
Pertimbangan finansial dalam Pileg bagi saya, disebabkan difungsinya partai politik selama ini yang lebih menerapkan politik praktis. Praktis saja, masyarakat jenuh bahkan apatis terhadap politik. Pemilih sudah tidak lagi berfikir panjang, bahkan tidak peduli dengan pemikiran serta konsep - konsep, akan tetapi apa yang diperoleh saat itu juga, dan hal ini dimanfaatkan para politisi sehingga ibarat pasar, dimana pertemuan penjual dan pembeli.
Situasi ini, tentunya menjadikan harapan rakyat dalam memilih wakil rakyat yang merakyat hanyalah tinggal harapan, karena di satu sisi caleg mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan haknya terkait suara, di sisi lain pemilih dalam hal ini rakyat pun telah mendapatkan haknya berupa uang ataupun lainnya terkait suara yang diberikan untuk menjadikan caleg sebagai wakil rakyat terpilih untuk 5 tahun ke depan.
Semoga saja, apa yang terjadi selama ini di setiap pemilu apa saja dan dimana saja di Indonesia, kita semua punya peran penting dalam proses politik, karena semua kebijakan yang ada di negara kita merupakan kebijakan politik.
Jika kita cerdas dalam memilih, tentunya pilihan kita juga politisi cerdas, sebaliknya jika kita konyol, hanya dengan mempertimbangkan seberapa besar  yang didapat, tentunya pilihan kita juga politisi konyol yang hanya mengandalkan uang atau mungkin popularitas saja, maka yang terjadi kelak adalah kebijakan - kebijakan konyol.

#ekahope
#politikkonyol
Share:

Kamis, 05 April 2018

Sertifikasi 100% tanah air Indonesia


Hanya 1% Orang yang kuasai 80% wilayah tanah air Indonesia.
Semangat Presiden untuk menerbitkan sertifikat tanah dalam jumlah banyak sudah tak terbendung lagi, bukan hanya ingin menerbitkan sertifikat dalam jumlah banyak saja tapi juga menyerahkan sendiri ke sang pemilik sertifikat. Luar biasa  bagi saya antusias seorang Presiden yang seperti ini, tanpa perlu perangkat Pemerintah lainnya baik Gubernur hingga Lurah/Kepala Desa. Tugas  - tugas mereka semua dilakukan oleh Seorang Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi begitu asyik membagikan sertifikat tanah kepada rakyatnya, bahkan hingga ke pelosok - pelosok. Tentu kebahagiaan yang tak terhingga pastinya dirasakan masyarakat yang menerima sertifikat tanahnya dan diserahkan langsung oleh Presidennya. Namun bagi saya apakah itu tidak terlalu berlebihan? kenapa harus dikebut waktunya dalam mengeluarkan sertifikat toh kalo memang sertifikat itu benar - benar ada? Jika saya tidak salah di sela - sela pembagian sertifikat Presiden Jokowi juga menyampaikan sertifikat ini bisa dijaminkan sebagai modal usaha.

Disaat kondisi ekonomi serba sulit sekarang ini . Yang saya takutkan sisa 20% tanah air yang belum dikuasai ini dikarenakan hanya karena belum jelas kepemilikan atau sertifikat sehingga pihak - pihak yang ingin menguasai tanah air kita enggan untuk mengeksekusi. Bagi penerima sertifikat merasa ini adalah bukan hanya sekedar sertifikat, namun juga menjadi harapan besar untuk bisa melanjutkan kehidupan yang jauh lebih baik dilihat dari kacamata ekonomi karena Sertifikat itu bisa dijaminkan atau dijual untuk dijadikan modal usaha mereka. Tapi apakah juga tidak riskan untuk timbul permasalahan baru disaat kondisi ekonomi seperti sekarang ini, dimana disaat sertifikat itu tidak dapat diambil kembali dikarenakan usaha mereka gagal .
Sudah bisa dibayangkan ditangan siapa kira - kira kemana akhirnya sertifikat itu?
Dan apakah tidak mungkin sisa kekayaan kita yang 20% itu juga dikuasai oleh orang yang 1% tadi?
Bisa jadi ada benarnya juga kritikan Amien Rais terhadap Jokowi terkait bagi - bagi Sertifikat ini.
Semoga apa yang saya khawatirkan ini tidak terjadi, Aaaamiiiin....

#ekahope
#sayaindonesia

Share:

Informasi